Rabu, 30 Agustus 2017

*BUNUH DIRI MASAL PERGURUAN TINGGI*

*MENUJU PENDIDIKAN ASEMBLING*

SUDARYONO
Kompas 29 Agustus 2017

Akhir-akhir ini di media sosial sedang hangat didiskusikan dan diperdebatkan perihal universities disruption yang dipicu artikel _Jim Clifton, ”Universities: Disruption is Coming”._
Isinya secara garis besar mempertanyakan dan mengkhawatirkan peran masa depan pendidikan tinggi dalam menyuplai tenaga kerja industri di dunia.

Pemicu ditulisnya artikel tersebut adalah *iklan Google dan Ernst & Young* yang akan menggaji siapa pun yang bisa bekerja dengannya *tanpa harus memiliki ijazah apa pun,* termasuk ijazah dari perguruan tinggi (PT).

Iklan dari Google dan Ernst & Young tersebut seperti halilintar di siang bolong.

Ia mengejutkan dan menyambar *kemapanan yang telah dinikmati oleh PT di seluruh dunia* dalam perannya sebagai *penyuplai tenaga ahli, hasil riset, dan pemikiran-pemikiran yang dibutuhkan dunia industri.*

Namun, peran penting PT saat ini seakan telah dinihilkan oleh Google dan Ernst & Young, yang sebentar lagi barangkali diikuti oleh perusahaan-perusahaan raksasa dunia yang lain.
Lonceng kematian PT seakan telah didentangkan oleh kedua perusahaan raksasa tersebut, menyusul artikel yang ditulis oleh _Terry Eagleton, berjudul ”The Slow Death of the University” (2015)._

Artikel Eagleton memberikan gambaran bahwa PT sedang melakukan bunuh diri massal melalui pengabaian pada tugas utamanya, yakni ”pendidikan”, karena telah bergeser lebih mengutamakan ”riset dan publikasi”. Lebih menyedihkan lagi, tradisi hubungan dosen dan mahasiswa yang seharusnya berbasis ”guru dan siswa” telah bergeser menjadi ”manager dan pelanggan”.
Khusus di Indonesia, fenomena bunuh diri massal ini ditambahkan oleh keluhan bahwa para dosen saat ini lebih mementingkan meng-updateLKD (laporan kinerja dosen) karena berkaitan dengan tunjangan kinerja dosen daripada meng-update materi kuliah yang diampunya.

Pertanyaan menarik untuk diajukan adalah apakah eksistensi pendidikan tinggi akan segera berakhir ataukah tetap akan ada tetapi arahnya akan berbelok tajam tidak mengikuti garis linier lagi?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu:

(1) melihat lagi ke belakang sejarah kaitan antara pengetahuan, sains, dan teknologi;

(2) tahap-tahap perkembangannya;

(3) esensi dan sifat dasar kaitan ketiganya dalam perspektif kekinian; dan

(4) pengaruhnya pada arah pendidikan tinggi kita di masa depan.

Sejak kelahirannya pada abad ke-17, sains modern telah melahirkan tradisi berpikir yang mengikuti garis linier hubungan antara pengetahuan, sains, dan teknologi. Pengetahuan adalah basis dibangunnya premis-premis atau dalil-dalil umum sains, yang untuk selanjutnya sains akan berperan sebagai ibu kandung dari kelahiran teknologi.
Pengetahuan tentang benda-benda di langit yang didasarkan pada pengamatan yang berulang, pada akhirnya telah melahirkan prinsip-prinsip serta dalil-dalil di bidang sains. Kemudian disusul oleh terciptanya peralatan-peralatan yang mampu digunakan untuk membuktikan dengan akurat hipotesis yang dibangun oleh abstraksi sains.
Pendek kata, keberadaan dan perilaku-perilaku alam merupakan sumber berpikir atau guru bagi terbangunnya pengetahuan manusia. Kelak di kemudian hari, pengetahuan tersebut dapat digeneralisasi dalam formula-formula yang dapat menuntun manusia untuk menciptakan alat-alat bantu yang dapat memudahkannya melakukan kegiatan-kegiatan yang sulit dan rumit.

Puncak dari tradisi berpikir yang mengikuti garis linier ini adalah masa yang disebut dalam sejarah sebagai revolusi industri, yang usianya sampai saat ini baru sekitar 200 tahun, tetapi pengaruhnya pada perubahan alam dan perubahan perilaku manusia sungguh sangat luar biasa.

*Perkembangan selanjutnya*

Revolusi industri ternyata bukan saja hasil puncak dari perkembangan sains modern, melainkan juga awal terciptanya alam (buatan) baru. Tradisi cara berpikir manusia kemudian berubah dari linier jadi siklikal karena produk-produk teknologi yang dihasilkan manusia tidak saja hanya dilihat sebagai ”hilir” dari pengetahuan dan sains, tetapi juga sebagai ”hulu” pengetahuan untuk melahirkan sains dan produk-produk teknologi baru.
Pergeseran cara berpikir ini dapat kita kenali dari berubahnya cara berpikir yang semula disebut sebagai discovery menjadi innovation.

Cara berpikir ”inovasi” telah meremas pengetahuan, sains, dan teknologi ke dalam satu genggaman tangan untuk kemudian dibentuk jadi bentukan-bentukan baru yang lebih mudah dipahami, lebih canggih, lebih mudah untuk memudahkan manusia, dan tentu saja lebih memesona.
Namun, yang sangat mengejutkan, ternyata dalam waktu hanya sekitar 15 tahun terakhir ini cara berpikir manusia modern sudah bergeser dari ”inovasi” menjadi ”hiper-inovasi” atau tepatnya ”hiper-siklikal”. Artinya, inovasi tidak lagi sekadar dijalankan di atas ”produk tunggal” untuk menambah nilai kebaruan dari produk tersebut, tetapi inovasi dilakukan di atas ”banyak produk” (multiproduk) untuk dilipat jadi satu produk. Alhasil, ia bukan saja melahirkan nilai kebaruan pada produk lama, melainkan sekaligus melahirkan produk-produk baru atau benda-benda baru yang sebelumnya belum pernah ada.
Cara berpikir seperti ini kemudian melahirkan panggung-panggung perlagaan di dunia industri untuk saling bunuh dan saling mengalahkan.

Akhirnya, kita banyak menyaksikan perusahaan-perusahaan raksasa dunia terjungkal tanpa membuat kesalahan manajemen maupun produksi hanya karena munculnya benda-benda industri baru yang mengambil teritori pasarnya lantaran para pelanggannya dengan sukarela meninggalkan produk-produknya karena dianggap kuno alias tidak gaul lagi. Dalam payung berpikir seperti itu (hiper-inovatif), baik produsen maupun konsumen hidup dalam perlagaan-perlagaan yang sangat ketat, sibuk, dan cepat karena ”kegaulan” produk-produk teknologi saat ini jadi berusia amat pendek.

*Cara berpikir asembling*

Untuk melahirkan benda-benda baru serta jasa-jasa baru tersebut di atas dalam payung berpikir ”hiper-inovasi”, sesungguhnya kita telah mereduksi cara berpikir kita dari discovery ke innovation lalu ke asembling. Cara berpikir yang terakhir ini adalah cara berpikir yang menggunakan ilmu gathuk (Jawa). Meng-gathuk-kan orang yang punya sepeda motor atau mobil dengan orang yang memerlukan jasa transportasi melalui IT. Meng-gathuk-kan orang yang perutnya lapar dengan pemilik produk makanan dengan pemilik sepeda motor yang mau disuruh dengan upah melalui IT. Dengan ”ilmu gathuk”, saat ini banyak orang bisa mendapatkan rezeki tanpa harus bekerja di kantor atau di pasar, dan juga banyak orang malas tetapi punya duit yang dimudahkan.
Saat ini, cara-cara berpikir dengan ”ilmu gathuk” telah tumbuh dengan pesat dan subur serta telah melahirkan karya-karya jasa ataupun produk benda-benda yang sangat nyata dan dibutuhkan oleh masyarakat. Ilmu semacam ini dapat dilakukan oleh siapa saja, tanpa harus memiliki ijazah apa pun, termasuk ijazah dari PT. Cara berpikir seperti inilah barangkali salah satu yang dibaca dan ditangkap Google dan Ernst & Young untuk berani merekrut siapa pun tanpa ijazah apa pun untuk bekerja dengannya.

*Sistem pendidikan asembling*

Atas dasar kondisi seperti itulah barangkali Jim Clifton merasa gelisah dan khawatir akan masa depan eksistensi PT dalam perannya sebagai penyedia tenaga kerja industri. Keahlian ilmu gathuk seperti itu ternyata ”tak pernah” dan ”tak perlu” diajarkan PT. Ilmu seperti itu dapat dipelajari siapa pun, di mana pun, dan kapan pun.
Kekhawatiran Jim Clifton barangkali ”sangat berguna” untuk mendefinisikan ulang peran pendidikan tinggi dalam perubahan-perubahan alam dan kehidupan manusia di masa depan. Paling tidak, ada dua arus utama pendidikan tinggi yang dapat ditawarkan kepada masyarakat.

*Pertama,* pendidikan tinggi yang diselenggarakan atas dasar semangat discovery.

Artinya, pendidikan tinggi semacam ini mengorientasikan kegiatannya untuk dapat meraih ”penemuan-penemuan” besar yang berguna bagi perubahan-perubahan kehidupan manusia di masa depan. Riset-risetnya dilakukan atas dasar ”kerja kolektif” untuk diarahkan pada ”penyelesaian masalah-masalah besar” dan ”penemuan-penemuan besar” sehingga PT semacam ini jumlahnya memang harus dibatasi, termasuk jumlah mahasiswanya juga dibatasi pada mereka yang memang memiliki kemampuan dasar luar biasa (melalui seleksi yang ketat). Untuk perguruan tinggi semacam ini, idealnya diselenggarakan atas basis subsidi, dalam arti mahasiswa tidak dipungut biaya alias gratis karena mereka kelak akan jadi pemandu perubahan kehidupan manusia. Setelah lulus mereka tidak dibiarkan mencari pekerjaannya sendiri, tetapi sudah dikaitkan dengan tugas-tugas besar yang harus dilakukan.

*Kedua,* pendidikan tinggi yang diselenggarakan atas semangat berpikir asembling, atau pendidikan yang diselenggarakan untuk melembagakan cara berpikir ”perakit”, sehingga tugas utamanya melahirkan sebanyak-banyaknya tenaga ahli perakit yang sangat dibutuhkan oleh industri.

Pendidikan seperti ini mungkin mirip pendidikan vokasi, tetapi bedanya terletak pada ”cara berpikir” yang luas, melintas disiplin, dan kompetensi yang dihasilkannya mampu melahirkan produk-produk baru, baik berupa barang maupun jasa. Mungkin pendidikan semacam ini tepat disebut ”pendidikan vokasi plus”.
Taiwan, Korea, dan China tampaknya telah memberi perhatian besar terhadap pengembangan pendidikan semacam ini.
Dengan menyelenggarakan dua arus utama pendidikan tinggi semacam itu (discovery dan asembling), kekhawatiran atas kemungkinan bangkrutnya pendidikan tinggi tidak beralasan lagi. Selain eksistensi pendidikan tinggi tetap dapat dipertahankan, maka pendidikan tinggi dikembalikan lagi perannya sebagai pemandu atau penuntun peradaban manusia, bukannya sebagai pembebek (pengekor) apa saja yang telah dilakukan oleh dunia industri.

_Sudaryono, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada_

Selasa, 22 Agustus 2017

SUNGGUH …. TIDAK MUDAH MENJADI JUNIOR NAMUN LEBIH TIDAK MUDAH LAGI MENJADI SENIOR ( Sebuah kilas balik )

Saya bukan siapa siapa, dan juga buk ( Sebuah kilas balik ) an apa apa. Hanya
seorang lelaki biasa, yang selama 42 tahun berkecimpung
di dunia pegiat alam bebas. Sejak di SMA kelas 2, di umur
17 thn, tepat di tahun 1971, memutuskan untuk memasuki
kelompok pendaki gunung di Cimahi.
Tidak mudah untuk menjadi anggota kelompok Pecinta
alam pendaki gunung saat itu. Umur organisasi yang baru
genap 2 th ( berdiri sejak th 1969 ), belum ada yg cukup
mampu untuk dijadikan instruktur beneran, sehingga kami
melirik pada RPKAD ( sekarang Kopassus) grup 3 di
Batujajar, untuk melatih kami. Jadilah saya dan teman2
seangkatan dilatih tentara elit itu, di tebing tebing citatah,
hutan gn Burangrang, sampai ke barak situ lembang.
Gunung hutan selama 2 minggu penuh, dan 5 hari terahir
melakukan longmarch dalam kondisi survival sepenuhnya.
Saat itu sudah berlalu, seiring waktu angkatan kami
semakin dewasa dalam jam terbang. Gantian tugas sebagai
instruktur dalam pendidikan dan pelatihan dasar
( Diklatdas ) menjadi tanggung jawab kami sepenuhnya.
Siswa siswi baru bergantian datang angkatan demi
angkatan. Sebagai anggota muda di awal, dan merekapun
berproses menjadi dewasa dalam pengembaraan maupun
operasi-operasi SAR yang kami lakukan.
Sejak awal, perintah komando kami bukan lagi jenis
kalimat perintah seperti “tuan tuan push up 2 seri” (1 seri
10 kali), tapi “tuan-tuan ikuti saya !”, instruktur mengambil
posisi lalu push-up 20 kali bersama sama dengan siswa.
Begitu pula saat senam para, tangan kesamping lalu
kipas-kipaskan spt sayap burung keatas kebawah
sebanyak 1000 kali. Senam kipam didalam air selama 30
menit, merayap, lari pagi, apapun, kata komandonya sama
“tuan-tuan ikuti saya !”.
Artinya bukan hanya siswa, namun instruktur lah yg harus
selalu memberi contoh dan keteladanan. Saat siswa
terlambat masuk kelas, instruktur bersama siswa yg telat
push up 20 kali. Jika kemudian muncul lagi siswa lain yg
telat, sama dihukum bersama push up 20 kali, jika muncul
yg ketiga, keempat, dst. Setiap siswa yg telat hanya push
up 20 kali, namun instruktur bisa push up 40 sampai 100
kali membarengi mereka.
Ketika kami melatih free-climbing di tebing 48 m di citatah.
Di jaman itu artificial climbing belum populer karena
terbatasnya sarana. Para siswa bergelayutan di tebing,
semua tegang berdebar, namun yg paling tegang justru
sang instruktur. Pernah pada sebuah angkatan, saat siswa
masih di tebing, hujan tiba tiba turun, bersukur tak terjadi
kecelakaan apapun. Saat latihan ini selesai wajah yang
paling lega adalah sang instruktur.
Para siswa lulus dari pendidikan dasar, dan dilanjutkan
pada tugas pengembaraan, untuk mendapatkan nomor
induk anggota. Mereka dilepas dari sekretariat untuk
memulai perjalanan yang telah dirancang jadwalnya. Hari
demi hari menunggu berita dari para junior ini. Apakah
mereka selamat ?, apakah mereka menghadapi hambatan
diperjalanan ?, apakah mereka tersesat saat pulang atau
turun gunung ?. Waktu itu komunikasi belum seperti
sekarang, bahkan telp rumah pun masih merupakan
kemewahan. Maka penantian itu betul betul menguras
mental dan emosi.
Sering sekelebat muncul pikiran buruk, jangan jangan para
junior ini tersesat di perjalanan dan masuk ke lembah. Lalu
kehabisan makanan, sehingga terpaksa survival. Namun
jika mereka dalam kondisi basah, maka dengan mudah
hipotermia menyergap mereka. Jika gigilan mereka hilang,
lalu tertidur…. Habislah sudah, mereka akan kembali
terbungkus dalam kantung-kantung mayat.
Jika situasi yang terburuk itu terjadi, kalimat tanya yang
pertama kali keluar adalah “ apakah aku telah cukup
melatih dan mendidik mereka ?”. Pertanyaan yang terus
menerus menggedor di kepala, bertalu talu menyakitkan.
Pernahkah rasa kasihanku saat latihan membuat mereka
lalai dalam belajar dan berlatih ?. Apakah metodaku
terlampau lembek, sehingga mereka menganggap enteng
pelajaran tentang cara bertahan hidup ?. Jika “ya” lalu
bagaimana pertanggung-jawabanku dalam pengadilan di
akhirat kelak ?.
Mereka bisa terbunuh di alam sana, bukan karena
kesalahan mereka, tapi akibat rasa “kasihan”. Rasa
kasihan sang instruktur yang tidak proporsionalah
pembunuhnya. Menolak berkeringat saat berlatih, namun
menyebabkan berdarah-darah dalam pengembaraan
sebenarnya. Apalagi berujung pada tragedi kematian.
Memang kematian merupakan takdir Illahiah, Namun
tanyalah pada setiap instruktur, sebuah pertanyaan yang
paling esensiel, bagaimana jika ada junior yang mati saat
pengembaraan, hanya karena mereka tidak cukup keras
dalam berlatih ?. Hanya karena sang instruktur takut di cap
melakukan “penganiayaan” pada siswa. Padahal tahu
persis bahaya dan resiko yang akan dihadapi sang junior,
saat melakukan pengembaraan pertama dan
pengembaraan-pengembaraan berikutnya di alam bebas.
Ketika para junior kembali dari pengembaraan, saat sidang
usai dilakukan, saat syal dan nomor induk anggota
diberikan. Mata junior dan sang instruktur berkaca kaca,
seraya berpelukan dalam tangis bahagia. Selamat datang
adik-adikku. Sang Junior paham, “penganiayaan” yang
dialaminya dulu, membuat mereka menjadi tangguh dan
siaga. Membuat mereka paham, bahwa berkeringat bahkan
kadang berdarah-darah saat menjadi siswa, menjadi bekal
berguna ketika berhadapan dengan tantangan alam yang
sesungguhnya.
Bahwa kerasnya hardikan, kerasnya tamparan, ribuan push
up, sit up, squat jump, merupakan bukti “kasih”, agar
dalam setiap pengembaraan, mereka masih mampu
kembali pulang ke keluarganya masing.
….. Agar mereka pulang tidak dalam bungkusan kantung
mayat..!!!.
Para Junior perlahan tumbuh, berganti menjadi senior dan
instruktur instruktur baru untuk angkatan adik adik mereka.
Perasaan ketegangan, kegalauan yang pernah dirasakan
oleh para senior dulu, kini juga mereka rasakan. Betapa
berat memikul arti “pertanggung-jawaban”.
Lantas kesadaran itu muncul. Dulu mereka berfikir betapa
sulitnya untuk menjadi junior, yang habis disuruh suruh dan
di bentak bentak. Namun mereka kini maphum, betapa
lebih tidak mudah lagi menjadi seorang senior dan
instruktur. Hanya karena seorang instruktur harus
mempertanggung-jawabkan semuanya di yaumil akhir,
tepat didepan sang Khalik kelak. Apakah yang
diajarkannya pada para siswa, akan membawa berkah
manfaat atau bahkan sebuah musibah ?.
Sebuah musibah, hanya karena sang instruktur mengumbar
rasa kasihan yang tidak pada tempatnya, sehingga
berujung pada kedukaan …..
Dan juga mudah mudahan
bukan ketika para instruktur mulai melupakan,
bahwa perintah komando yang paling mujarab adalah
…. Tuan tuan , ikuti saya !
Yat lessie

Sabtu, 12 Agustus 2017

Alumni 2017


1. Khasan Rochmad / 2017 / Sastra Indonesia, Universitas Sebelas Maret Surakarta
2. Zainul Abidin / 2017 / Pend. Geografi, Universitas Negeri Jakarta
3. Ianatul Khafidlah / 2017 / Kimia Murni, Universitas Negeri Surabaya
4. Aliyah Rohmiati / 2017 / Syariah dan Hukum, UIN Sunan Ampel Surabaya
5. Feni Dwi Erni Chusainiyah / 2017 /Pend. Sosio Antropologi, Universitas Sebelas Maret Surakarta
6. M. Shamsul Arif / 2017 / Ekonomi Pembangunan, Universitas Airlangga Surabaya
7. Nur Muzdalifah / 2017 / Komunikasi dan Dakwah/ UIN Sunan Ampel Surabaya
8. Ferra Ratna Sari / 2017 / Hukum Tata Negara / UIN Sunan Ampel Surabaya
9. Amalia Sholihah / 2017 / Sains Komunikasi Pengembangan Masyarakat / Institut Pertanian Bogor
10. Eka Hafsari / 2017 / Manajemen, Universitas Gadjah Mada
11. Imam Andi Sahputra / 2017 / Calon Bintara TNI-AD
12. Dita Kharisma Wijayanti / 2017 / Desain Grafis-Animasi, Universitas Brawijaya Malang
13. Siti Mubasyiroh / 2017 / Pend. Biologi, Universitas Muhammadiyah Malang

Rabu, 02 Agustus 2017

[Gagal SBM]

3 tahun yang lalu. ngebet banget pengen masuk Arsi ITS. SNM pilih Arsi, gak lolos, nangis2 sehari semalem. Gpp, masih ada SBM.
SBM ambil Arsi lagi, gak lolos lagi, nangis2 hampir seminggu. Dari situ aku sadar, terlalu idealis itu salah. apalagi kalo gampang ngikut apa kata orang, alias "Yes"-man. Sedih rasanya inget2 itu.
Sms temen2 sekelas pada keterima dimana. Ada yang di kampus A, B, C dst. Ikut seneng sih waktu itu. Cuma ya tetep nangis juga mengingat nasib diri sendiri yang belum dapet PTN. Ketika temen2 sekelas balik nanya, ya aku jawab apa adanya. wkwk, dan mereka paham banget kalo ambisius sama Arsi ITS, dan gagal, dan yaaah pasti sedih bgt lah ya.
Kebetulan waktu itu bulan ramadhan juga. sambil nahan nangis, aku berangkat tarawih. di tengah2 tarawih rasanya udah nggak nahan lagi. pengen banget nangis pas lagi sujud. akhirnya nggak ikut tarawih sampek abis dan lebih memilih pulang. malu kali ah nangis di tempat rame kek gitu.
tau-tau pas pulang depan rumahku rame. ku kira ada apa. eh ada Ditto, Rembo, Aan, sama Afif.
"Lho rek, kalian ngapain di sini?"
"Sabar ya ris.. kita tau kamu sekarang pasti lagi sedih banget"
Hahaha, petjah deh. nangis, nangis gue.
"Masuk dulu rek" kataku sambil ganti mukenah pake kerudung.

"Jangan nangis ris.. kita disini ada buat kamu"
"Iya ris.. Kita dateng buat nguatin kamu, bukan bikin kamu makin nangis" kata mereka sambil ngepuk-pukin aku.
"Hahaha.. makasih ya rek"
"Aku juga gak lolos SBM koq ris."
"Aku juga masih nunggu pengumuman ATKP ris. kalo gak lolos aku mau masuk pesantren aja"
"Aku juga masih nunggu pengumuman tes TNI,"
Dst.

Sampek akhirnya aku dikasih kesempatan sama bapakku buat daftar D3 ITS. Kalo nggak lolos yaudah, mungkin aku nggak kuliah. karena di swasta itu mahal.
Bismillah, akhirnya aku ngambil : 1. teknik sipil ; 2. teknik kimia ; 3. metrologi instrumentasi. Kalo ada D3 arsi sih dapat dipastikan aku bakal ambil itu lagi. wkwk
Akhirnya pas tes aku berangkat minta anter Afif biar gak nyasar (waktu itu masih woles ya dibonceng cowok, jangan ditiru). Bela-belain dari candi jemput dia ke sukodono, terus berangkat ke ITS, pagi2, sama dia ditungguin di manarul sampek aku selesai tes. Hahaha
Dan qodarullah lolos di pilihan pertama. Sujud syukur deh.. akhirnya jadi kuliah. Hahaha

btw Afif kuliah di UTM, Ditto akhirnya lolos ATKP, Aan HAMPIR lolos tes TNI tapi gak jadi , akhirnya sekarang kerja, Rembo baru kuliah tahun depannya di jurusan Tata Boga dan sekarang kerjaannya bolak-balik ke luar negeri buat belajar kuliner :'

pas udah kuliah di Sipil, kenal sama Owi, temen ITS Online yang anak Arsi. Dia sebel karena 2x SBM gak lolos FKUA :' You know what wi? jurusan "terpaksa"-mu itu jurusan impianku.
dan di sisi lain ada temenku yang kuliah Sipil di kampus lain bilang ke aku kalo aku keren bisa masuk D3 Sipil ITS. Dia udah tes S1, D4, sampek D3 sipilnya ITS gak lolos :'
gini ya hidup? harus pinter-pinter bersyukur. bisa jadi apa yang menurut kita biasa aja, keren di mata orang lain.
"Masuk ITS itu susah, keluarnya juga susah." - pepatah mahasiswa ITS

Sekeras apapun manusia berusaha, tetap Allah yang menentukan.
Mungkin cerita ini gak bisa menyemangati kalian yang gagal SBM. Tapi aku seneng aja, mengingat masih ada banyak hal yang bisa aku syukuri sampai saat ini.
Adalah sahabat-sahabat yang selalu ada buat aku, yang bener-bener udah kayak keluarga sendiri. Orang-orang di sekitarku yang sayang sama aku.

"Awakmu nek butuh opo-opo iku ngomong o ae, gak usah sungkan-sungkan. Kene iki wes koyok dulur.." (Kamu kalo butuh apa-apa itu bilang aja, nggak usah sungkan2. Kita ini udah kayak keluarga..)
Ini kalimat yang sering keluar dari mulut temen2ku SMA. Iya, kita keluarga. Pernah susah seneng bareng. Pernah ketawa dan nangis bareng.
Bukan pacar, bukan gebetan, tapi sahabat yang udah kayak keluarga, yang namanya sering kita sebut dalam sela-sela doa.

Bisa jadi aku lolos ITS juga karena doa dari temen2ku. Bisa jadi juga karena doa-doaku buat mereka. Bisa jadi juga karena aku pernah bantuin mereka. Bisa jadi juga karena mereka sering bantuin aku.

Bahagia itu sederhana. Yuk, saling doain kebaikan buat saudara kita sendiri. Karena doanya akan di-aamiin-kan malaikat dan kembali ke kita lagi. Kalo belum lolos SBM, doain temennya yang lain supaya lolos tes di Perguruan Tinggi atau kampus yang mereka pengenin. biar doanya juga kembali ke kita.
dan jangan memutus tali silaturrahmi. karena itu salah satu hal yang mendatangkan rezeki.