Selasa, 22 Agustus 2017

SUNGGUH …. TIDAK MUDAH MENJADI JUNIOR NAMUN LEBIH TIDAK MUDAH LAGI MENJADI SENIOR ( Sebuah kilas balik )

Saya bukan siapa siapa, dan juga buk ( Sebuah kilas balik ) an apa apa. Hanya
seorang lelaki biasa, yang selama 42 tahun berkecimpung
di dunia pegiat alam bebas. Sejak di SMA kelas 2, di umur
17 thn, tepat di tahun 1971, memutuskan untuk memasuki
kelompok pendaki gunung di Cimahi.
Tidak mudah untuk menjadi anggota kelompok Pecinta
alam pendaki gunung saat itu. Umur organisasi yang baru
genap 2 th ( berdiri sejak th 1969 ), belum ada yg cukup
mampu untuk dijadikan instruktur beneran, sehingga kami
melirik pada RPKAD ( sekarang Kopassus) grup 3 di
Batujajar, untuk melatih kami. Jadilah saya dan teman2
seangkatan dilatih tentara elit itu, di tebing tebing citatah,
hutan gn Burangrang, sampai ke barak situ lembang.
Gunung hutan selama 2 minggu penuh, dan 5 hari terahir
melakukan longmarch dalam kondisi survival sepenuhnya.
Saat itu sudah berlalu, seiring waktu angkatan kami
semakin dewasa dalam jam terbang. Gantian tugas sebagai
instruktur dalam pendidikan dan pelatihan dasar
( Diklatdas ) menjadi tanggung jawab kami sepenuhnya.
Siswa siswi baru bergantian datang angkatan demi
angkatan. Sebagai anggota muda di awal, dan merekapun
berproses menjadi dewasa dalam pengembaraan maupun
operasi-operasi SAR yang kami lakukan.
Sejak awal, perintah komando kami bukan lagi jenis
kalimat perintah seperti “tuan tuan push up 2 seri” (1 seri
10 kali), tapi “tuan-tuan ikuti saya !”, instruktur mengambil
posisi lalu push-up 20 kali bersama sama dengan siswa.
Begitu pula saat senam para, tangan kesamping lalu
kipas-kipaskan spt sayap burung keatas kebawah
sebanyak 1000 kali. Senam kipam didalam air selama 30
menit, merayap, lari pagi, apapun, kata komandonya sama
“tuan-tuan ikuti saya !”.
Artinya bukan hanya siswa, namun instruktur lah yg harus
selalu memberi contoh dan keteladanan. Saat siswa
terlambat masuk kelas, instruktur bersama siswa yg telat
push up 20 kali. Jika kemudian muncul lagi siswa lain yg
telat, sama dihukum bersama push up 20 kali, jika muncul
yg ketiga, keempat, dst. Setiap siswa yg telat hanya push
up 20 kali, namun instruktur bisa push up 40 sampai 100
kali membarengi mereka.
Ketika kami melatih free-climbing di tebing 48 m di citatah.
Di jaman itu artificial climbing belum populer karena
terbatasnya sarana. Para siswa bergelayutan di tebing,
semua tegang berdebar, namun yg paling tegang justru
sang instruktur. Pernah pada sebuah angkatan, saat siswa
masih di tebing, hujan tiba tiba turun, bersukur tak terjadi
kecelakaan apapun. Saat latihan ini selesai wajah yang
paling lega adalah sang instruktur.
Para siswa lulus dari pendidikan dasar, dan dilanjutkan
pada tugas pengembaraan, untuk mendapatkan nomor
induk anggota. Mereka dilepas dari sekretariat untuk
memulai perjalanan yang telah dirancang jadwalnya. Hari
demi hari menunggu berita dari para junior ini. Apakah
mereka selamat ?, apakah mereka menghadapi hambatan
diperjalanan ?, apakah mereka tersesat saat pulang atau
turun gunung ?. Waktu itu komunikasi belum seperti
sekarang, bahkan telp rumah pun masih merupakan
kemewahan. Maka penantian itu betul betul menguras
mental dan emosi.
Sering sekelebat muncul pikiran buruk, jangan jangan para
junior ini tersesat di perjalanan dan masuk ke lembah. Lalu
kehabisan makanan, sehingga terpaksa survival. Namun
jika mereka dalam kondisi basah, maka dengan mudah
hipotermia menyergap mereka. Jika gigilan mereka hilang,
lalu tertidur…. Habislah sudah, mereka akan kembali
terbungkus dalam kantung-kantung mayat.
Jika situasi yang terburuk itu terjadi, kalimat tanya yang
pertama kali keluar adalah “ apakah aku telah cukup
melatih dan mendidik mereka ?”. Pertanyaan yang terus
menerus menggedor di kepala, bertalu talu menyakitkan.
Pernahkah rasa kasihanku saat latihan membuat mereka
lalai dalam belajar dan berlatih ?. Apakah metodaku
terlampau lembek, sehingga mereka menganggap enteng
pelajaran tentang cara bertahan hidup ?. Jika “ya” lalu
bagaimana pertanggung-jawabanku dalam pengadilan di
akhirat kelak ?.
Mereka bisa terbunuh di alam sana, bukan karena
kesalahan mereka, tapi akibat rasa “kasihan”. Rasa
kasihan sang instruktur yang tidak proporsionalah
pembunuhnya. Menolak berkeringat saat berlatih, namun
menyebabkan berdarah-darah dalam pengembaraan
sebenarnya. Apalagi berujung pada tragedi kematian.
Memang kematian merupakan takdir Illahiah, Namun
tanyalah pada setiap instruktur, sebuah pertanyaan yang
paling esensiel, bagaimana jika ada junior yang mati saat
pengembaraan, hanya karena mereka tidak cukup keras
dalam berlatih ?. Hanya karena sang instruktur takut di cap
melakukan “penganiayaan” pada siswa. Padahal tahu
persis bahaya dan resiko yang akan dihadapi sang junior,
saat melakukan pengembaraan pertama dan
pengembaraan-pengembaraan berikutnya di alam bebas.
Ketika para junior kembali dari pengembaraan, saat sidang
usai dilakukan, saat syal dan nomor induk anggota
diberikan. Mata junior dan sang instruktur berkaca kaca,
seraya berpelukan dalam tangis bahagia. Selamat datang
adik-adikku. Sang Junior paham, “penganiayaan” yang
dialaminya dulu, membuat mereka menjadi tangguh dan
siaga. Membuat mereka paham, bahwa berkeringat bahkan
kadang berdarah-darah saat menjadi siswa, menjadi bekal
berguna ketika berhadapan dengan tantangan alam yang
sesungguhnya.
Bahwa kerasnya hardikan, kerasnya tamparan, ribuan push
up, sit up, squat jump, merupakan bukti “kasih”, agar
dalam setiap pengembaraan, mereka masih mampu
kembali pulang ke keluarganya masing.
….. Agar mereka pulang tidak dalam bungkusan kantung
mayat..!!!.
Para Junior perlahan tumbuh, berganti menjadi senior dan
instruktur instruktur baru untuk angkatan adik adik mereka.
Perasaan ketegangan, kegalauan yang pernah dirasakan
oleh para senior dulu, kini juga mereka rasakan. Betapa
berat memikul arti “pertanggung-jawaban”.
Lantas kesadaran itu muncul. Dulu mereka berfikir betapa
sulitnya untuk menjadi junior, yang habis disuruh suruh dan
di bentak bentak. Namun mereka kini maphum, betapa
lebih tidak mudah lagi menjadi seorang senior dan
instruktur. Hanya karena seorang instruktur harus
mempertanggung-jawabkan semuanya di yaumil akhir,
tepat didepan sang Khalik kelak. Apakah yang
diajarkannya pada para siswa, akan membawa berkah
manfaat atau bahkan sebuah musibah ?.
Sebuah musibah, hanya karena sang instruktur mengumbar
rasa kasihan yang tidak pada tempatnya, sehingga
berujung pada kedukaan …..
Dan juga mudah mudahan
bukan ketika para instruktur mulai melupakan,
bahwa perintah komando yang paling mujarab adalah
…. Tuan tuan , ikuti saya !
Yat lessie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar